Subscribe Us

Jemunak Makanan Khas Desa Gunugpring yang melegenda

IMG

Gunungpring - Warga sekitar Muntilan Magelang, Jawa Tengah menyebutnya Jemunak, sejenis bubur kenyal manis. Bubur ini hanya muncul setahun sekali yakni saat bulan puasa datang. Makanan ini merebak di beberapa warung serta penjual dadakan di sela-sela waktu Ngabuburit atau menjelang buka puasa di Magelang dan sekitarnya.

Rasanya yang manis dari cairan gulanya yang disebut 'kinco' sekaligus gurih dari adonannya yang terbuat dari terigu ketela dan ketan, membuat jajanan ini digemari karena segera mengembalikan stamina tubuh setelah seharian berpuasa.

Jemunak dibuat dari bahan dasar ketela, beras ketan, gula merah dan kelapa. Cara membuatnya sederhana, namun membutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam proses pembuatannya. Awalnya, beras ketan dan ketela setelah diparut (dihaluskan) dimasak dalam tempat yang berbeda. Setelah dirasa setengah matang, kedua bahan itu dicampur dan ditumpuk hingga lembut. Lalu, dimasak lagi hingga keduanya benar-benar matang dan siap saji.

Makanan itu lantas disajikan dengan siraman gula merah dan parutan kelapa di atasnya. Kenyal, manis dan gurih. Demikian rasa makanan itu terasa di lidah saat mengecapnya.

"Terbuat dari beras ketan dan ketela, makanan itu juga membuat perut cepat kenyang dan saya paling senang berbuka puasa dengan Jemunak itu. Selain harganya murah dan terjangkau juga menjadikan stamina cepat pulih kembali," kata Anie Rahmawati (30), warga Sayangan, Muntilan, Magelang penggemar Jemunak.


Selintas, rasa Jemunak mirip kue lupis yang biasa dihidangkan bersama cenil atau klanthing dan bubur Madura. Sama dengan Jemunak, kedua jajanan itu juga dihidangkan dengan gula jawa dan parutan kelapa. Bedanya, Jemunak tak selunak lupis saat digigit.

Tak hanya dibuat saat Ramadan tiba, di Muntilan atau bahkan di Magelang, Jemunak dulu awalnya hanya dibuat di satu tempat, yakni rumah Mbah Mulyodinomo di Dusun Karaharjan, Desa Gunung Pring Muntilan, Magelang. Secara turun temurun, keluarga kakek berusia sekitar 75 tahun itu mewarisi keahlian membuat jemunak dari kakek buyutnya.

"Seingat saya, orang tua telah membikin Jemunak," kata dia.

Lantaran fisiknya yang telah menua, kakek yang akrab disapa Mbah Mul itu tak lagi turun membuat Jemunak sendiri. Adapun tradisi membuat Jemunak seperti Ramadan tahun ini dilakukan istrinya, Mujilah (70), dan dibantu anak-anak mereka.

Mujilah menjelaskan, untuk 25 kilogram ketela, 4 kilogram beras ketan, 4 kilogram gula merah dan 4 kelapa, dia bisa membuat 280 bungkus jemunak. Panganan itu dibungkus dengan bungkusan daun kelapa.


"Rasanya lebih enak kalau dibungkus dengan daun kelapa. Walaupun umumnya khan dibungkus daru daun pisang," ungkapnya.


Munjilah menceritakan dirinya tak pernah memasarkan sendiri Jemunak buatannya. Sejumlah pemilik warung di sekitar Muntilan dan penjaja kue keliling biasa datang ke rumahnya saat Ramadan tepatnya waktu ngabuburit tiba. Mereka memesan Jemunak dan memasarkan ke pembeli di berbagai penjuru Kota dan Kabupaten Magelang.

Agar citarasa Jemunak buatannya tak berubah, wanita tua itu selalu memasak bahan-bahan Jemunak dengan menggunakan kompor tungku berbahan kayu bakar. Di banding dengan kompor gas atau minyak tanah, rasa Jemunak diyakini lebih nikmat dengan menggunakan kayu bakar.

"Saya tidak berani dengan kompor gas, takut meledak dan apinya lebih merasuk ke masakan dengan menggunakan kompor tungku," jelasnya.

Mbak Sri (63), seorang pedagang kue keliling di desa itu mengatakan Mujilah merupakan satu-satunya pembuat Jemunak di Muntilan. Jemunak buatan Mujilah, dia jual hingga ke pasar Muntilan Magelang atau desa sekitar dengan berjalan kaki. Untuk sebungkus Jumenak, dia menjualnya dengan harga Rp 1.500-2000.

"Sehari bisa bawa 50 bungkus (jemunak), jarang tersisa," pungkasnya.

Kini, Jemunak sudah dibuat di beberapa tempat tidak hanya di Mbah Mulyodinomo di Dusun Karaharjan Desa Gunung Pring Muntilan, Magelang tetapi karena cita rasa makanan ini tinggi namun penyajian dan penampilannya sederhana membuat warga sekitar Magelang selalu teringat Jemunak jika saat Ramadhan tiba.

Mereka seolah-olah secara serempak membuat hidangan khas ini dan menjajakannya di beberapa warung dan lapak kagetan di pinggir jalan jika menjelang waktu berbuka.

Posting Komentar

0 Komentar